Masyarakat Tak Bisa Dipaksa Bertahan di Rumah lalu Berharap Bantuan Datang

Oleh Ribut Wijoto

SAAT SEKARANG, ada sebuah kampanye dari Pemerintah Republik Indonesia yang digulirkan secara terstruktur, massif, dan sistematis. Itu adalah kampanye untuk berdiam diri di rumah, ‘di rumah saja’. Kampanye terkait dengan upaya Pemerintah mencegah persebaran virus Corona alias Covid-19.

Beberapa daerah (termasuk Surabaya Raya dan Malang Raya) menerapkan sistem Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Gerak warga dibatasi. Perputaran ekonomi dibatasi. Mau tidak mau, warga dikondisikan untuk berdiam diri di rumah.

Problem utamanya tentu tentang waktu. Sampai kapan situasi ini bakal berakhir? Sedangkan kehidupan butuh biaya.

Saat sekarang, banyak warga yang membiayai hidup keluarganya dengan uang tabungan. Banyak pengusaha mencairkan deposito untuk membayar gaji karyawan yang dirumahkan.

Sampai kapan situasi ini bakal berakhir? Sampai berapa bulan mereka mampu bertahan?

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 14 Mei 2020 lalu, mengeluarkan peringatan. Pandemi virus Corona tidak bakal berakhir secara cepat. Tidak bisa diprediksi dalam hitungan bulan. Apalagi, secara global, grafik jumlah penderita terjangkit virus Corona terus saja melaju.

Padahal, alamiah saja, perut yang lapar memicu tindakan kriminal. Ketiadaan cash flow perusahaan menyebabkan pengusaha mengambil kebijakan paling menyakitkan, pemecatan tanpa pesangon.

Orang lebih memilih berhadapan dengan hukum dibandingkan harus menahan sakitnya perut yang melilit akibat minta diisi nasi. Betapa pedih menyayat perasaan orang tua jika melihat anak-anaknya kelaparan.

Pengusaha juga bakal memilih memecat karyawan dibandingkan terus menerus merogoh kocek pribadi demi menutup pengeluaran rutin perusahaan. Kalaulah mereka diperkarakan di meja hijau oleh karyawan atau serikat pekerja, kasus hukum itu bisa hadapi setelah situasi normal.

Maka, melihat situasi yang sangat runyam ini, Pemerintah harus mengubah cara pandang. Mengubah orientasi kebijakan. Innamal a’malu binniyat. Segala sesuatu tergantung dari niat.

Selama ini, orientasi utama Pemerintah lebih mengarah pada upaya membatasi persebaran virus Corona. Caranya dengan membatasi aktivitas keseharian masyarakat.

Orientasi selanjutnya barulah perihal kesejahteraan. Pemerintah mengeluarkan dana besar untuk dibagi-bagikan kepada warga. Namanya sampai bermacam-macam. Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT DD), Prakerja, dan lain sebagainya. Pemerintah juga mendorong pengusaha untuk memberikan sumbangan kepada masyarakat. Atau setidaknya, mendorong pengusaha mengalihkan program Corporate Social Responsibility (CSR) pada pembagian paket sembako.

Tetapi tentu saja, kebijakan tersebut jauh dari solusi konkret. BLT DD misalnya. Tiap warga mendapatkan uang sebesar Rp 600 ribu tiap bulan. Bagi sebuah keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan dua anak; uang Rp 600 ribu mungkin hanya cukup untuk biaya hidup selama seminggu. Sehingga masih ada tiga minggu tersisa yang mesti dibiayai.

Jadi, masyarakat tidak bisa dipaksa berdiam diri di rumah lalu berharap bantuan datang. Sebab kalaulah bantuan datang, itu sangatlah tidak mencukupi. Bantuan yang bukan solusi. Masyarakat butuh penghasilan.

Maka, melihat situasi yang sangat runyam ini, Pemerintah harus mengubah cara pandang. Mengubah orientasi kebijakan. Sektor kesejahteraan harus dinomorsatukan. Pencegahan virus Corona digeser ke nomor dua.

Roda ekonomi masyarakat harus dikondisikan bergulir. Pemerintah perlu mengeluarkan kampanye baru. Petani didorong agar kembali rajin turun ke sawah, pedagang kembali menggelar lapak di pasar, pengusaha diminta memanggil lagi karyawan untuk menjalankan mesin produksi, sales disemangati kembali berkeliling menawarkan barangnya.

Kesemuanya diniatkan untuk mengembalikan kesejahteraan masyarakat. Tentu dengan catatan. Kesemuanya dijalankan dengan standar operasional prosedur (SOP) yang aman terhadap penularan virus Corona.

Masyarakat tetap diminta untuk berdisiplin menjaga jarak. Disiplin membasuh kedua tangan. Tertib bermasker. Senantiasa menjaga pola hidup sehat.

Pertanyaannya, apakah masyarakat Indonesia bisa hidup disiplin dan tertib? Tampaknya sulit.

Dalam pola hidup keseharian saja, coba dibandingkan masyarakat Indonesia dengan masyarakat di Taiwan. Di sana, tidak bakal ditemui orang berjejal di depan kasir swalayan. Mereka tertib antre. Jalanan Taiwan juga menggambarkan bentuk kedisiplinan. Tidak bakal ditemui saling serobot kendaraan. Apalagi bunyi klakson pengendara yang meminta diberi jalan untuk menyalip. Kondisi itu tampaknya berbeda jauh dengan yang terjadi di masyarakat Indonesia.

Lalu bagaimana caranya agar masyarakat Indonesia bisa tertib? Tampaknya harus dipaksa.

Sejak negara Indonesia berdiri 17 Agustus 1945 hingga saat sekarang, TNI adalah institusi yang teruji paling juara dalam soal kedisiplinan. Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan untuk mengeluarkan tentara dari barak. Terjun mendisiplinkan masyarakat.

Namun, kebijakan ini bisa jadi akan banyak polemik. Pengamat politik maupun aktivis HAM banyak berteriak, menuding Pemerintah bertindak otoriter. Anggota Dewan berlomba mengkritisi.

Namun, ini adalah situasi darurat. Tujuannya demi keselamatan dan kesejahteraan warga negara Indonesia. Sehingga pengerahan personel TNI ke dalam ranah kemasyarakatan sangat dimungkinan.

Jika TNI telah terjun memaksakan hidup disiplin dan tertib, semula memang berat, tetapi lama-lama masyarakat akan terbiasa. Displin dan ketertiban bakal menjadi budaya.

Toh, pola hidup displin dan tertib tersebut dimaksudkan untuk menggerakkan roda ekonomi masyarakat. Demi kesejahteran masyarakat. Selebihnya, demi mencegah penularan virus Corona. [but]

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top